Sabtu, 07 Mei 2011

rakyatmerdeka - Amir Syamsuddin: Negara Yang Paling Layak Kuasai Universitas Trisakti

Pimpinan dan karyawan Universitas Trisakti (Usakti) didampingi kuasa hukumnya, Amir Syamsuddin dan Bambang Widjojanto mendatangi Komisi Yudisial dan Komnas HAM, Kamis (5/5) untuk melaporkan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim serta pelanggaran HAM dalam putusan pengadilan dan penetapan eksekusi perkara universitas tersebut.
Amir Syamsuddin dan Bam­bang Widjojanto mewakili 9 orang pimpinan, karyawan dan staf pengajar Usakti yang men­jadi ‘para pihak’ dalam perkara Universitas Trisakti.
“Saya dan Pak Bambang Widjojanto terpanggil menangani perkara ini gara-gara ada putusan hakim yang keliru. Padahal, ne­gara yang paling layak menguasai Usakti dan asetnya. Bukan yaya­san swasta milik segelintir orang seperti putusan hakim,’’ tegas Amir Syamsuddin kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Kami berdua bukan membela kepentingan pribadi-pribadi. Tidak ada urusannya dengan rektor. Siapapun yang menjadi rektor tidak masalah. Tapi aset negara sudah seharusnya dikem­balikan ke negara,” tambah penga­cara senior ini.
Berikut kutipan selengkapnya:
Kenapa Anda bilang begitu?
Usakti itu lahir saat situasi negara dalam keadaan darurat. Awalnya, bernama Res Publica atau Ureca yang bernaung di ba­wah Yayasan Badan Permusya­waratan Kewarganegaan Indone­sia (Baperki) yang berafiliasi ke komunis.
Brigjen TNI Syarif Thayeb, Menteri Perguruan Tinggi Dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) sesuai Keputusan Menteri Nomor 01/dar/tahun 1965 tanggal 11 Okto­ber 1965 tentang penutupan se­men­tara perguruan tinggi (swasta) yang langsung atau tidak langsung membantu gerakan pe­tua­langan atau kontra revolusio­ner G30S PKI. Keputusan itu menyatakan, ada 24 perguruan tinggi swasta, termasuk Univer­sitas Res Publica Jakarta, ditutup untuk sementara waktu.
Kemudian, Menteri PTIP ber­dasarkan surat Keputusan Men­teri Nomor 09/dar/tahun 1965, 18 Oktober 1965 jo nomor 12/dar/tahun 1965 membentuk tim per­siapan pembukaan kem­bali Uni­versitas Res Publica yang diper­baiki oleh Keputusan Men­teri Nomor 012/dar/Tahun 1965 Tanggal 13 November 1965.
Dalam Keputusan Menteri Nomor 13/dar/tahun 1965, tanggal 15 November 1965, Men­teri PTIP mengganti nama Uni­versitas Res Publica menjadi Uni­versitas Trisakti dan pembentu­kan presidium sementara yang membawahi Univeritas Trisakti. Lalu, pada 19 November 1965 Universitas Res Publica dibuka kembali dan bernaung dengan nama Universitas Trisakti.
Di sini jelas terlihat, bahwa uni­versitas itu diambil alih ne­gara, sehingga negara yang pan­tas menguasainya kembali. Bu­kan yayasan. Sebab, yayasan tidak mendirikan universitas ini.
Lalu peran yayasan Trisakti di mana?
Disitulah ganjilnya. Biasanya kan yayasan itu mendirikan uni­versitas. Tapi Usakti ini kan jelas bukan yayasan yang men­dirikan.
Yayasan Trisakti itu didirikan satu tahun setelah pembukaan universitas tersebut. Ini berarti yayasan sama sekali nggak ada hubunganya dengan aset dan kekayaan universitas.
Pembentukan yayasan itu, didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebuda­yaan, Daoed Yoesoef, Nomor 0281/u/1979 Tanggal 31 Desem­ber 1979 tentang Penyerahan Pembinaan dan Pengelolaan Universitas Trisakti dengan bebe­rapa syarat tertentu. Namun, syarat-syarat itu ternyata gagal dilaksanakan.
Apa yang gagal itu?
Di antaranya, membentuk pa­nitia penyerahan pembinaan dan pengelolaan. Kesimpulan telah gagal dilaksanakan didasarkan atas kesaksian Prof Soekisno Hadikoemoro, ketua merangkap anggota dari tim tersebut. Soe­kisno menyatakan, “dalam me­lak­sanakan tugas dan kepanitian tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dilampaui batas waktu yang ditetapkan 1 tahun terhitung mulai berlakunya keputusan tersebut atau tanggal 31 Desember 1980.
Melihat hal itu, Usakti dan aset serta seluruh infrastrukturnya adalah milik negara. Jadi, sudah selayaknya dikembalikan kepada negara. Harusnya, Usakti itu sama dengan Universitas Indone­sia dan Universitas Gadjah Mada. Bedanya, dia didirikan dalam kea­daan darurat, sehingga proses­nya berbeda. Menurut saya, publik pun akan mendukung pengembalian aset dan kebebasan kampus itu kepada negara. Sebab, yayasan tersebut sama sekali tidak berhubungan dan berkaitan dengan negara.
Apa KY bisa berbuat sesuatu?
Ya, seharusnya bisa dong. Sebab, kami  prihatin dengan pu­tu­san dan prilaku hakim. Berda­sarkan surat keputusan yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Barat, Lexy Mamoto, tanggal 20 April 2011, pihak pengadilan me­minta dan melibatkan TNI dalam melakukan eksekusi di Univer­sitas Trisakti.
Tindakan itu merupakan per­bua­tan yang tidak bertanggung jawab dan tidak profesional da­lam mengeksekusi. Apalagi, per­kara ini belum berkekuatan hu­kum tetap. Kami kan masih mela­kukan Peninjauan Kembali (PK).
Makanya, kami minta KY untuk memeriksa para pihak yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim.
Bisa disebutkan bagaimana bunyi putusan pengadilan yang me­nyatakan adanya pengera­han aparat untuk rencana ekse­kusi tersebut?
Putusan tersebut berbunyi, menghukum Para Tergugat atau siapapun tanpa kecuali yang telah mendapat hak dan kewenangan dengan cara apapun juga dari Para Tergugat dengan memerin­tah­kan secara paksa dengan menggunakan alat negara, tidak memperbolehkan masuk ke da­lam semua kampus Trisakti, dan atau tempat lain yang fungsinya sama atas alasan apapun dan di­larang melakukan kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi dan manajemennya untuk semua jenjang dan jenis program baik di dalam maupun diluar kampus A Universitas Trisakti Jalan Kyai Tapa No.1 Grogol Jakarta Barat sepanjang memakai baik secara langsung maupun tidak langsung nama Universitas Trisakti.
Dalam putusan itu, memang ti­dak ada bunyi pengerahan aparat militer.
Namun, bahwa pada tanggal 20 April, PN Jakarta Barat me­nge­luar­kan surat undangan kepada Komandan Gartap I Ibu Kota Jakarta Raya Up Asops, Koman­dan Kodim 0503 Jakarta Barat, Komandan Sub-Gar Ja­karta Barat, dan Komandan Kora­mil Grogol Petamburan, Jakarta Ba­rat dalam rangka rapat koordinasi untuk pelaksanaan putusan kasus Trisakti.
Apa ada urgensinya menga­du ke Komnas HAM?
Tentu ada. Kami memper­soal­kan bunyi amar putusan kasasi yang intinya melarang para ter­gugat (sembilan pimpinan) atau siapapun tanpa kecuali yang te­lah dapat hak dan wewenang dari para tergugat untuk masuk Kam­pus A Trisakti Grogol Ja­karta Barat.
Putusan itu implikasinya sa­ngat luas, tidak hanya sembilan orang itu, tapi semua dosen dan mahasiswa dapat dikualifika­si­kan sebagai ‘siapapun tanpa ke­cuali’ yang tidak boleh masuk ke kampus. Putusan itu, menurut kami, bisa dipersoalkan karena melanggar UU Sistem Pendidi­kan Nasional dan Undang-un­dang Guru dan Dosen yang seha­rusnya mendapat perlindungan.
Saat ini, tim kuasa hukum te­ngah mengajukan PK, apa­kah Anda optimistis menang?
Tentu saja. Makanya, kami me­minta eksekusi terhadap uni­ver­sitas itu ditunda hingga adanya putusan tersebut. Soalnya, per­soa­lan ini bukan sekadar perse­teruan antara universitas dan pengelola yayasan, tapi berkaitan juga dengan aset negara.

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=26414

Tidak ada komentar:

Posting Komentar